Aku sudah lama banget nggak naik Pakuan Ekspress (PE), mungkin terakhir kali tahun 2002 saat masih sibuk wira-wiri proyek analisis data bilyet giro di Bank Indonesia yang berkantor di Kebon Sirih. Saat itu ongkosnya masih 6000 perak, sekarang tepatnya 6 tahun kemudian sudah 11 ribu, wajar sih... hari gini apa sih yang nggak naik?. Paling juga hujan bakalan turun terus.
Sejenak bernostalgia, dulu PE itu kereta yang ekslusif, nyaman, bersih dan kelihatan berkelasnya sebagai KRL pilihan orang-orang kantoran dibandingkan tentu saja kelas ekonomi yang lebih mirip pasar ikan saking sesaknya sampai susah nafas, gencet sana sini dan banyak terjadi gerilya ’tangan-tangan setan’ yang cari kesempatan dalam kegentingan, bak bumi dengan langit deh.
Tapi sekarang, PE di jam-jam berangkat kantor lebih mirip warung lesehan. Banyak kulihat bapak-bapak berjas atau bersafari rapi dengan tanpa sungkan menggelar koran untuk duduk lesehan sambil theklak-thekluk terserang kantuk karena nggak kebagian tempat duduk. Atau ibu-ibu cantik yang selonjoran sambil ngobrol sana-sini, ada yang kerajinan saking tiap hari ketemu mereka bikin kumpulan arisan yang dikocok tiap minggu di atas kereta.
Seingatku dari jam berangkat 6.23, 6.39, 7.00, dan 7.17 dari stasiun Bogor ke Jakarta kota, PE selalu saja penuh. Sayangnya aku nggak punya data pasti sebenarnya berapa banyak jumlah pekerja yang tiap hari komuter Bogor-Jakarta dalam rangka mencari nafkah, tapi yang jelas kuantitasnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Bogor memang tempat yang enak sebagai wilayah tempat tinggal dibanding Jakarta yang semakin sumpek.
Soal tempat duduk yang tak sebanding dengan jumlah penumpang, untung saja ada beberapa kursi khusus yang diberi label ” Prioritas untuk Penyandang Cacat, Ibu dan balita, Lansia serta Ibu hamil”. Kursi khusus itu tentu saja mampu menyelamatkanku kalau lagi tak kebagian tempat duduk. Syukurlah.
Ya, pada dasarnya ini masukan juga sih buat jawatan perkereta apian, soalnya 11 ribu itu lumayan gede lho, jika dibandingkan dengan kenyamanan yang menjadi hak konsumen pengguna PE tentu saja jauh, belum lagi soal jadwal yang kerap ngaret, kerusakan rel yang bikin penumpang terkatung-katung ke tempat tujuan, wah rugi juga para pengguna masak ke kantor baju jadi lecek dan keringetan. Jangan sampai di jam-jam sibuk, PE tak jauh beda dengan kereta ekonomi karena yang membedakan hanyalah AC-nya saja. Atau jenis orang-orangnya saja yang hampir dipastikan berHP semua dengan kelengkapan fitur radio atau MP3, tak ada orang jualan tape atau alat cukur juga bau keringat menyengat karena hampir dipastikan mereka memakai parfum kelas mahal juga tak ada omongan pasar bersliweran karena mereka tenggelam baca Kompas, Media Indonesia atau novelnya Andrea Hirata atau mungkin juga ada yang masih sempat browsing di laptop mungilnya?
Sejenak bernostalgia, dulu PE itu kereta yang ekslusif, nyaman, bersih dan kelihatan berkelasnya sebagai KRL pilihan orang-orang kantoran dibandingkan tentu saja kelas ekonomi yang lebih mirip pasar ikan saking sesaknya sampai susah nafas, gencet sana sini dan banyak terjadi gerilya ’tangan-tangan setan’ yang cari kesempatan dalam kegentingan, bak bumi dengan langit deh.
Tapi sekarang, PE di jam-jam berangkat kantor lebih mirip warung lesehan. Banyak kulihat bapak-bapak berjas atau bersafari rapi dengan tanpa sungkan menggelar koran untuk duduk lesehan sambil theklak-thekluk terserang kantuk karena nggak kebagian tempat duduk. Atau ibu-ibu cantik yang selonjoran sambil ngobrol sana-sini, ada yang kerajinan saking tiap hari ketemu mereka bikin kumpulan arisan yang dikocok tiap minggu di atas kereta.
Seingatku dari jam berangkat 6.23, 6.39, 7.00, dan 7.17 dari stasiun Bogor ke Jakarta kota, PE selalu saja penuh. Sayangnya aku nggak punya data pasti sebenarnya berapa banyak jumlah pekerja yang tiap hari komuter Bogor-Jakarta dalam rangka mencari nafkah, tapi yang jelas kuantitasnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Bogor memang tempat yang enak sebagai wilayah tempat tinggal dibanding Jakarta yang semakin sumpek.
Soal tempat duduk yang tak sebanding dengan jumlah penumpang, untung saja ada beberapa kursi khusus yang diberi label ” Prioritas untuk Penyandang Cacat, Ibu dan balita, Lansia serta Ibu hamil”. Kursi khusus itu tentu saja mampu menyelamatkanku kalau lagi tak kebagian tempat duduk. Syukurlah.
Ya, pada dasarnya ini masukan juga sih buat jawatan perkereta apian, soalnya 11 ribu itu lumayan gede lho, jika dibandingkan dengan kenyamanan yang menjadi hak konsumen pengguna PE tentu saja jauh, belum lagi soal jadwal yang kerap ngaret, kerusakan rel yang bikin penumpang terkatung-katung ke tempat tujuan, wah rugi juga para pengguna masak ke kantor baju jadi lecek dan keringetan. Jangan sampai di jam-jam sibuk, PE tak jauh beda dengan kereta ekonomi karena yang membedakan hanyalah AC-nya saja. Atau jenis orang-orangnya saja yang hampir dipastikan berHP semua dengan kelengkapan fitur radio atau MP3, tak ada orang jualan tape atau alat cukur juga bau keringat menyengat karena hampir dipastikan mereka memakai parfum kelas mahal juga tak ada omongan pasar bersliweran karena mereka tenggelam baca Kompas, Media Indonesia atau novelnya Andrea Hirata atau mungkin juga ada yang masih sempat browsing di laptop mungilnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar