Selasa, 17 Januari 2017

Dua Cermin Kehidupan

Di pusara almarhum ayahanda tadi pagi saya tertegun. Cepat nian masa berlalu. Sudah setahun rupanya beliau bersemayam di sana. Apa kabar Bapak? Kami semua rindu padamu. Semoga Allah melapangkan pembaringanmu.

Dan bersama Argo Sindoro saya menyusuri pagi melintas rel kiloan meter menatap kapas2 putih berarak mengangkasa. Kembali ke ibukota.  "Apakah yang hidup merasa lebih baik dari yang mati?. Merasa sdh berharga dengan segala kesibukan yg ia geluti?". Mungkin saja usia bisa ditutup tapi apa umur kenangan mampu dilupakan?. Sejatinya manusia tetap hidup selamanya dengan umur hakikat yg unlimited meski umur biologisnya hanya berbilang tahun.
Lintasan umur antar generasi adalah cermin kehidupan.
Cermin yg baik akan tetap memantulkan kebaikan kapan saja.

Kita adalah cerminan orang tua kita dan sebaliknya anak2 kita adalah cerminan diri kita.  Sungguh sedikit banyak ortu turut andil dalam membentuk siapa, apa dan bagaimana kita sekarang. Pun kita, sangat menentukan dalam membentuk corak dan motif kehidupan anak2 kita kelak.  Bukan membandingkan mana yg lebih baik di antara 2 cermin itu. Tapi seberapa besar perubahan keduanya dalam memantulkan kebaikan dan akhirnya menutup kehidupan ini dg baik pula.

Meski bukan berasal dari keluarga relijius  sebagai anak saya tetap mensyukuri dan membanggakan orang tua saya dg segala kesederhanaannya.
Tak pernah menyalahkan mereka kenapa kami saat kecil tak dibiasakan mengaji di rumah, tak pernah ditegur jika lalai sholat apalagi menyegerakan sholat jika azan tiba atau menyuruh saya mengenakan baju muslimah sejak dini.  Karena saya tahu ortu saya cerminan dari kakek nenek saya yg juga begitu. Sampai di situ saja batas pengetahuan dan pemahaman mereka tentang agamanya saat itu.

Bisa saja prolog kehidupan seseorang kurang sempurna menurut sebagian yg lain tapi saya bersyukur epilog kehidupan almarhum ayah saya begitu menentramkan jika dikenang. Di usia senjanya ia begitu akrab dg masjid. Seolah mengejar ketertinggalan masa mudanya. Kerap mengisi kultum meski saya tahu ia masih belajar mengeja Al Quran. Mungkin karena sedikit sekali warga yang bersedia dan mereka sudah kadung memanggilnya Pak Kaji sepulang dari Mekah. Di kampung saya, orang naik haji kerap diotomatiskan sebagai tokoh agama. Begitulah.
Dua hari sebelum meninggal, selepas shalat jumat di masjid desa ia masih sempat menengok madrasah milik warga dan mengeluarkan shadaqah atasnya. Sorenya ia menengok tetangga yg dirawat di RS dg naik motor padahal usia tetangga sepantaran kami anaknya. Ya..sebuah akhir yg baik.

Saya tetap bangga meski ortu saya tak sempat mengajarkan agama secara khusus tapi mereka mendidik kami dg standar kebaikan humanis yg dijunjung tinggi masyarakat dlm kehidupan seperti: sederhana, bersahaja, tidak pelit, rendah hati, mandiri dsb.
Bagi saya itu tetap kenangan terindah dan kebaikan tak terlupa.

Setelah berkeluarga kadang2 sy berpikiran 'nyleneh' tentang arti kesuksesan.  Apa sukses anak dibanding ortunya?.Tepatnya, kesuksesan apa yg harus sy raih agar bisa disimpulkan ortu saya telah sukses mendidik saya?.
Lantas saya pernah menggariskan sendiri yg kemudian membuat sy tertawa sendiri pula. Misalnya begini, jika ortu saya punya mobil di usia 40 an maka saya hrs bisa punya mobil saat sy berumur 30an. Jika ortu saya naik haji usia 60 maka sy hrs bisa berangkat haji minimal  usia 40 (Amiin, semoga dipanjangkan usia). Jika ayah saya sekolah maksimum S1 saya harus bisa paling tidak S2 dll. Itulah sukses. Definisi yg tak bisa dipertanggungjawabkan he..he. Ya saya sempat berpikiran demikian karena  sy lebih terpacu membandingkan capaian yg sy raih dg orangtua sy dibandingkan sy harus mengintip2 keberhasilan rekan2 saya yg bisa2 membuat hati kadang tak bersyukur.

Tapi komparasi sukses tsb bukan fokus utama karena ada satu hal penting dlm mengukur kesuksesan mata rantai kehidupan ini yakni kemampuan take and replace nilai2 kehidupan. Mengambil dan mengembangkan hal2 yg baik serta membuang atau meninggalkan yg kurang.
Sebenarnya ini lah yg lebih tepat dengan perbaikan keturunan. Jadi bukan anak2 kita lebih cantik/ganteng dibnding kita ortunya seperti guyonan umum.
Misalnya begini ortu saya termasuk pendiam dan jarang mengekspresikan kasih sayang terhadap anak2nya dgn bahasa verbal dan perbuatan. Hal ini membuat saya dulu enggan curhat apalagi curcol ke mereka. Tumbuhlah saya dg sifat tertutup, enggan berbagi masalah dan berusaha menyelesaikan apa2 sendiri termasuk memutuskan sendiri.
Nah, saya tak mau itu tejadi pada anak2 saya.   Saya harus membuangnya dan jangan membuat siaran ulang kembali. Tapi sifat sederhana, nggak neko-neko meski peluang itu ada, tidak gumedhe, akan selalu saya adopsi sebagai warisan luhur kedua orang tua kami.

Ya bagaimanapun kita harus bersyukur atas nikmat kedua ibu bapak, membanggakannya meski pernah suatu saat salah. Memaafkannya seandainya pernah tergelincir dlm mendidik kita.

Setiap anak tak sanggup memilih siapa ayah ibunya. Ia terlahir meniti garis takdir. Meski Steve Jobs pemilik Apple inc. , perusahaan komputer raksasa dunia yg namanya booming itu semasa hidupnya tak mau ketemu ayah kandungnya lantaran merasa sakit hati bahwa dirinya pernah terbuang lalu diadopsi orang, toh tak bisa menghapus jejak bahwa ia adalah anak biologis Abdul Fattah Jandali, seorang keturunan Arab berdomisili Suriah.

Host ternama dan dikabarkan terkaya di dunia, Oprah Winfrey juga tak kuasa menampik kalau ia terlahir dari keluarga pecah. Ayahnya yg tukang cukur dan ibunya pembantu rumah tangga bercerai di usia kanak dan karena kurang pengawasan mereka ia pernah mengalami pelecehan seksual berkali2 hingga sempat hamil di usia 14 tahun. Hanya karena dia punya jiwa bangkit dari keterpurukan dan jiwa memaafkanlah yg membuatnya berani menjejak dunia dan jadi pesohor.

Bagaimanapun anak terlahir tanpa pernah membawa dosa-dosa orang tuanya sekelam apa pun mereka.  Nabi Ibrahim AS tak pernah menyesali mengapa Azaar ayahnya justru menjadi pembuat berhala yg harus ia perangi dan ingatkan berkali-kali. Mungkin kita yg awam tercetus pikiran enakan tuh punya orang tua seperti Sulaiman AS yg berayahkan Nabi Daud. Atau punya ayah sebijak Lukmanul Hakim yg namanya begitu legendaris dalam Al Quran.

 

Desember 2014

Tidak ada komentar: