Minggu, 03 Agustus 2014

Mudik, Menyelami Suka Cita Orang Tua

Terlintas di benak begitu saja, akankah saya memiliki perasaan yg sama dg ortu jika kelak anak2 saya sdh besar, berkeluarga dan memiliki kehidupan sendiri?. Perasaan yg mana sih?.  Itu, perasaan sukacita di hari lebaran demi menyaksikan seluruh  anak2nya, mantunya plus cucu2 kesayangan berkumpul, bercengkerama sembari minum segelas sirup orens, icip2 nastar, kaastangel atau putri salju selepas makan lontong opor?. Ngobrol segala rupa. Termasuk bernostalgia saat di bangku TK?. Tertawa gembira. Ah..itu jelas perasaan milik ortu saya banget. Bapak saya pendiam tapi saya tahu hatinya berbunga-bunga. Saya suka berdalih mungkin rata2 orang Jawa begitukah?. Rindu yg sulit tersurat lewat kata namun mata yg berkaca-kaca mewakili rasa harunya. Haru bahagia dan mungkin bangga, "aku bersyukur Ya Allah telah membesarkan mereka dg segala kerja keras dan doa harapan kepadaMu".
Bagi sebagian besar ortu, berkumpul saat lebaran itu wajib, selebihnya sunah. Kadang ucapnya berkata tak papa, ora popo jika kami bilang tak bisa pulang di hari pertama lebaran tapi getar suara di sebrang telepon tak mampu sembunyikan rasa.
Bagi orang tua di kampung berkumpul dg keluarganya yg jauh merantau di hari pertama lebaran selepas shalat ied jelas moment spesial. Karena lazimnya di kampung saya yg namanya sungkeman alias maaf2an itu baru 'sah' selepas shalat ied. Kalau telat sehari apalagi seminggu rasanya sudah 'basi'. Maksudnya, beda deh nilai khidmatnya.
Ya, itu lah kadang yg membuat saya antusias mudik. Menyelami suka cita orang tua dan menggugurkan rasa rindu mereka terhadap anak2nya yg nggak saban hari bisa dipandangi. Saya yakin kerinduan orangtua tua melebihi muatan rindu anak terhadap ayah ibunya.

Inilah yg membuat saya agak bersalah ketika lebaran tahun 2013 saya hanya bisa brgkat mudik di hari kedua. Sampai di kampung, kakak saya brgkat mudik ke rumah mertuanya. Tak sempat bertemu dan berkumpul lengkap. Waktu itu anggapan saya biasa2 saja. Karena Bapak saya pun tak menunjukkan kata2 kecewa. Barulah setelah beliau pergi menghadapNya, empat bulan setelah lebaran, Ibu bilang kalau sebenarnya Bapak ingin bercerita, bercengkerama dan menyampaikan sesuatu saat lebaran tapi karena kami tak bisa lengkap berkumpul, keinginan itu ia tunda. Dan ternyata tak kesampaian hingga ajal menjemputnya.
Sedih ya. Jadi, menurut saya kunjungi kedua orang tua kita selagi masih ada kapan saja selagi bisa. Selami rasa rindu dan suka cita mereka kepada anak2nya. Mungkin mereka tak pandai mengungkap lewat bahasa verbal tapi sekali lagi selami kebeningan wajah mereka yg penuh ketulusan. Jika tidak, tiadalah guna arti penyesalan.

Bogor, 2 Agustus 2014
Merangkum kenangan selepas mudik

Kamis, 06 Februari 2014

Selamat Jalan Matahariku

Selamat jalan Bapak,..engkau adalah sosok terbaik yg aku kenal dalam hidupku. Pemberi andil terbesar dlm membentuk jiwa kepribadianku. Semoga Allah melapangkan jalanmu, menghapuskan dan mengampuni dosa2mu. Engkau adalah sosok yg suka mempermudah urusan saudaramu, maka tak heran jika Allah pun begitu mempermudah cara menjemputmu.

Mudik dan Latihan Tak Menggerutu

Mudik dan Latihan Tak Menggerutu

Bisa dikata di usia 10 th anak saya yang pertama, maka sudah 10 kali pula ia merasakan mudik lebaran. Jam terbang mudiknya yg paling mula diawali saat usianya 6 bulan. Melewati macet pantura dg ocehan dan tangisan bayi tentu bikin deg2 an para ibu termasuk saya saat itu. Tapi kerinduan bertemu kampung bisa jadi rahasia jitu untuk bisa melewati segalanya.  Makanya di awal start mudik kemarin si ayah sudah kasih komando warning. "Pokoknya kalo mau mudik, harus sabar. Jangan ada yg rewel dan menggerutu ya." wanti2nya kpd saya dan 2 orang buntutnya. Yaah mudik is 'the unpredictable journey'. Sulit diprediksi nyampenya. Bogor-Tegal yg standarnya ditempuh 7-8 jam dg mobil/bis bisa kemayu hingga dua kali lipatnya karena macet di mana2. Tahun 2012 kami pernah mengukur jalan hingga lebih dari 20 jam. Kemarin alhamdulillah agak lumayan turun di kisaran titik 16 jam sudah termasuk rehat utk sahur dan nyubuh di spbu. Punya insting pemetaan jalan yg tinggi nggak jaminan pul Sudah ngintip gps, google map, japri sama yg duluan ekspedisi belum bisa dipastikan anda akan beruntung. Tapi itulah mudik, biar dicemberuti toh kami2 tetep doyan. Sepertinya semangat birrul walidaini (semoga) memang bisa mengalahkan segalanya.
Nah, jalur alternatif yg biasa jadi buah bibir kalo pas mudik ibarat kata mengaminkan istilah banyak cara menuju Roma, dan paribasan alon2 asal klakon. Nikmati apa yg kita rasakan di jalan, resapi hikmah2 yg bisa dipetik, pelajari sesuatu baru yg mungkin berserakan.  Inget nggak pelajaran sejarah ketika Ferdinand Magellan dari Spanyol mutusin menempuh jalur alternatif ketimbang mbebek rekannya yg dari Portugis untuk mencari Hindia?. Dia start belayar menuju arah Barat sementara pendahulunya udah jelas punya riwayat jurnal ekspedisi itu ya ke arah Timur. 'Hikmah'nya dia nemuin Selat Magellan yg memisahkan Samudra Atlantik dan Pasifik dan juga Kepulauan Filipina. Wah mustinya Imelda Marcos, Arroyo sampe Maribeth penyanyi Denpasar Moon itu banyak2 terima kasih sama dia ya. Meski tragisnya Magellan mati terbunuh, tapi namanya juga tercatat sejarah sebagai pelaut ulung yg berhasil mengelilingi dunia dan membuktikan bumi itu bulat, katanya.
Eh apa hubungannya sama mudik?. Nggak ada!. Nggak ada secara langsung, tapi maksudnya ketika mudiker menyusuri jalan2 yg nggak biasanya ia pasti mendapatkan pengalaman yg nggak biasanya juga. Dan pengalaman itu menurut kata orang mahal lho!. Buktinya di iklan loker suka dibumbui kalimat; dicari yg berpengalaman.
Anak saya, Hanif yg baru masuk TK B, semangat menghitung menara2 cerobong pembakar genteng yg berdiri di sepanjang jalan Jatiwangi, Majalengka. Genteng Jatiwangi ternyata cukup terkenal lho. Itu masuk pelajaran muatan lokal (mulok) kalo di KTSP. Cateeet. Eh ndak nyangka ya Nak,  kita sempet ngliat daerahya. Kalau bukan karena mudik kan?.  Eh di Sumedang ternyata ada yg namanya Kelurahan Tomo kecamatannya Tomo juga. Jangan2 Bung Tomo lahir di sana? (he...he becanda). Ya artinya bisa kok melewati mudik bersama anak2 tanpa resah gelisah dan menggerutu.
Anak2 bisa belajar hal2 baru di sepanjang jalan kenangan yg ia lalui.

Bogor, 1 Agustus 2014
Pulang mudik.

Perempuan Muda dengan Bayi Hidrosepalus

Waktu menunjuk 17.30. Kakiku masih menahan pegal di tengah KRL yg penuh muatan ini. Daripada menggerutu, aku berbagi cerita saja ya...... Perempuan Muda dengan Bayi hydrocefalus di pelukannya. Kadang2 saja aku menjumpai sosoknya duduk menyudut di bangku khusus gerbong wanita. Perempuan dengan usia jauh usianya di bawahku berambut ekor kuda duduk memeluk erat anaknya yg selalu bertopi rajut tebal hingga tak menampakkan raut mungilnya. Waktu kutanya hendak kemana, ia menjawab tersipu. "Mau bawa kontrol anak saya bu ke Cipto." oh pasti maksudnya RS Cipto Msngunkusumo di daerah Cikini. Anaknya sakit apa lanjutku sekedar ingin tahu saja. Sedikit meragu ia bercerita bahwa anaknya mengidap penyakit hidrosepalus sejak lahir dan tiap 2 mgg sekali harus kontrol dan diberi tindakan penyedotan cairan di kepala. Aku terhenyak. Langsung pandanganku terfokus pada kepalanya. Baru tersadar kalau kepala yg ditutupi topi rajut itu harus senantiasa diterapi begitu istilah halusnya. Rasa miris dan iba langsung merayap-rayap menjalari hati ini. Ya Rabb, ibu muda yg tabah. Aku mungkin tak sanggup jika diberi ujian sepertinya. Di satu sisi aku membatin sendiri mengucap syukur akan karunia 2 anakku dari-Nya. Walau cuma dan baru 2 mereka tak ternilai harganya buatku. Dia menjelaskan sebenarnya anaknya udah hampir 2 tahun tapi karena sakit itulah ia masih laksana bayi belum bisa berdiri apalagi jalan. Jadi kemana2 harus digendong. Eh tiba2 rasa kepoku tersulut begitu saja. .. Tunggu dulu ke mana suaminya?. Teganyakah dia membiarkan mereka berdesakan di gerbong komuter yg senantiasa penuh sesak di pagi hari di saat para pekerja berlomba mengejar waktu?. Ia hanya menggeleng. Bukan mengartikan bahwa ia tak punya suami, tapi suaminya tak bisa mendampingi mereka. Mungkin juga tak mau, hardikku sendiri. Ah bapak2 memang kadang2 enggan direpotin. Huh! Egois,...lho...lho kok jadi aku yg sewot lah wong wajah si embak itu saja begitu sabar dan tulus?. Karena tak tega aku selipin sekedarnya lembar rupiah hanya untuk tambahan naik angkot buat mereka. Si ibu tersenyum bahagia dan berulang-ulang mengucap terima kasih. Ia berhenti di stasiun Cikini. Aku terharu melepas pandanganku ke arah mereka. Beberapa hari lalu aku ketemu lagi dengan kedua sosok itu. Karena masih ingat aku pun menyapanya. "Kontrol ya?". Ibu muda itu seperti biasa hanya mengulas senyum malu. Hai...aku menemukan kemajuan pada jagoan kecilnya itu. Ia kini mulai bersuara walau dalam bentuk tangisan. Kepala yg masih berbalut topi rajut benang wol itu pun nampak lebih kecil dari pertama ku melihatnya. Aih sekilas ganteng kok tapi memang masih kelihatan sisi bayinya ketimbang usia sebenarnya. Mudah-mudahan si kasep itu semakin baik perkembangannya sesabar bundanya yg selalu dan selalu memeluk dan menjaganya dengan penuh cinta. Aku yakin kasih ibu muda itu tak sekedar sepanjang rel yg ia lewati tapi tak berbatas dunia yg mayapada, jauh menembus cakrawala langit hingga menghadap-Nya kelak.