“Besok hari ibu lho, Muthia” kataku semalam. Muthia anakku yang lagi asyik nonton VCD Snow White, langsung turun dari kursinya sambil nyengir. ”Kalo begitu ini hadiah untuk ibu,”. Mmmmuaaah, ia mencium pipi kanan kiriku. ”Aku sayang Ibu” ujarnya. Kubalas sun sayangnya dengan terharu. Hari Ibu memang sudah difamiliarkan oleh bu gurunya jauh-jauh hari. Seminggu sebelumnya ia bercerita kalau di kelas, ia dan teman-temannya diajak bu guru membuka celengen kelas. Muatan di dalamnya dibelanjakan sebagian untuk membeli souvenir buat ibu-ibu mereka tentu saja dalam rangka hari Ibu. ”Bu, ini aku pilihkan bros bunga untuk Ibu. Tadinya Bu guru memilihkan yang bentuk telor, tapi kata aku Ibu sudah punya.”celotehnya sambil menyerahkan bungkusan kecil berisi bros cantik. ”Pokoknya besok Ibu harus pake ke kantor ya.” Aku mengangguk mengiyakan. Surprais banget rasanya. Seolah baru tahun ini aku merasakan Hari Ibu. Biasanya sambil lalu saja, Ohya 22 Desember itu hari Ibu lho!. Tapi sekarang anakku yang berumur 4,5 tahun itu menghadiahi aku sesuatu di hari Ibu. Mudah-mudahan aku bisa menjadi Ibu yang baik untukmu, ya Nak, doakku dalam hati. Walaupun jika menatap matanya yang bening aku sering merasa berdosa. Meninggalkan raga kecilnya selama 5 hari kerja dalam hitungan 10 jam lebih. Kenapa engkau tega ’membiarkan’nya bermain sendiri? Berontak hatiku jika merasa bersalah. Bukankah harusnya kau menemaninya, menyuapi, meninabobokan di saat tidur siang, apalagi jika pas dia sakit?. Apakah kau sudah lupa bagaimana perjuangan selama mengandung dan melahirkannya?. Kenapa engkau tega meninggalkan jiwa raganya?. Ya Allah, aku titipkan Muthia anakku dalam dekapan-Mu, karena Engkau sajalah yang maha Pemelihara segala sesuatu, doaku setiap saat, di kendaraan, di jalan, di kantor. Aku memang bukan Ibu yang sempurna, tapi berilah aku kemampuan dan cara yang tepat untuk bisa selalu dekat denagan anakku dan dia selalu merasa butuh dan merindukanku
Minggu, 21 Desember 2008
Kamis, 18 Desember 2008
NGINJEK KODOK
Masih seputar kereta Pakuan, aku paling suka mengamat-amati orang di sekeliling aku duduk. Yang menahan kantuk, yang tenggelam dengan buku-buku setebal bantal guling, yang haha hihi, yang nelpon melulu sejak masuk kereta sampai ketemu stasiun, yang goyang-goyang sambil mendengar musik dengan mata merem, hingga suami istri yang mungkin baru kali ya jadi pengantin jadi sepanjang kereta mereka mendendangkan lagu 'sepanjang jalan kenangan' maksudku, ngobrol nggak habis-habisnya sambil saling melempar pandangan mesra dan senyum-senyum dikulum. Salah satunya pasangan muda yang kerap aku temui di sekitar gerbong 7 atau 8, kalau pas pulang ke Bogor. Aku amat interest sama mereka. Tadinya kupikir mereka sekedar 'pacaran' saja. Tapi beberapa kali aku mengamati terutama cincin yang melingkar di jari mereka, aku berhuznuzhon kalo mereka Insya Allah sudah menikah. Yang perempuan, akhwat berkerudung rapi tapi dengan style orang kantoran. cantik itu pasti, ada sedikit keturunan arab. Aku aja (yang sesama perempuan) kerap bertasbih jika melirik wajah innocentnya. Putih, dengan hidung proposional. Kacamatanya semakin melengkapi kecantikan dan mengesankan kecerdasannya. Yang ikhwan?,....mmm sebenarnya sih aku nggak bilang jelek, tapi dibilang ganteng juga agak ragu. Badannya tinggi gede, dengan kulit rada legam. Aku bergumam dalam hati, oh alangkah bahagianya pasti lelaki itu. Punya istri cantik, cerdas, dan sepertinya juga dari kalangan menengah ke atas. Syurga dunia deh. Aku sering mencuri-curi pandang ke arah mereka, bukannya iri lho tapi siapa tahu mereka bisa ngasih inspirasi buatku nulis. salah satunya yang sedang kutulis ini. Kalau secara fisik sih, mungkin mereka kurang serasi, istilah temanku dulu ngimpi nginjek kodok. yang mimpi perempuannya, he...he....ya tapi itu kan hanya anekdot aja. karena kita nggak boleh nglihat orang dari luarnya saja. Inna akromakum indallohi atqokum, kira-kira begitu ya. Siapa tahu ikhwan itu memang punya kharisma 'luar biasa' buat istrinya. Coba aja biar nggak sekeren Dude Harlino, tapi cara bicara dan memandang istrinya itu seperti memberi payung kenyamanan. Melindungi dan amat menghargai pasangannya banget. Istrinya sih kalo ngomong menghadap ke depan, tapi kalau si lelaki, selalu menyertakan bahasa tubuhnya. Ia selalu menatap istrinya itu dengan mimik cerah, sambil mencondongkan badannya. Tidak ada kontak fisik sih, tapi cara mendengarkan cerita istrinya itu lho yang menunjukkan ia begitu perhatian dan sayang. saya juga heran seingatku kalau aku pas bareng mereka, adaaaa aja yang mereka obrolkan nggak habis-habisnya, kadang sambil makan keripik bersama. Jadi, meski si lelaki gak ganteng-ganteng amat tak sepadan dengan pasangannya aku sih selalu menganggap ia pasangan muda yang serasi. Mudah-mudahan aku dan suamiku juga begitu ya..., serasi di mata ALLAH, dunia akhirat amin, walaupun dalam hal ini aku sering ngerasa suamiku lah yang mimpi nginjek kodok he...he.. sadar diri tho?
Rabu, 17 Desember 2008
Pakuan Ekspress atau Warung Lesehan?
Aku sudah lama banget nggak naik Pakuan Ekspress (PE), mungkin terakhir kali tahun 2002 saat masih sibuk wira-wiri proyek analisis data bilyet giro di Bank Indonesia yang berkantor di Kebon Sirih. Saat itu ongkosnya masih 6000 perak, sekarang tepatnya 6 tahun kemudian sudah 11 ribu, wajar sih... hari gini apa sih yang nggak naik?. Paling juga hujan bakalan turun terus.
Sejenak bernostalgia, dulu PE itu kereta yang ekslusif, nyaman, bersih dan kelihatan berkelasnya sebagai KRL pilihan orang-orang kantoran dibandingkan tentu saja kelas ekonomi yang lebih mirip pasar ikan saking sesaknya sampai susah nafas, gencet sana sini dan banyak terjadi gerilya ’tangan-tangan setan’ yang cari kesempatan dalam kegentingan, bak bumi dengan langit deh.
Tapi sekarang, PE di jam-jam berangkat kantor lebih mirip warung lesehan. Banyak kulihat bapak-bapak berjas atau bersafari rapi dengan tanpa sungkan menggelar koran untuk duduk lesehan sambil theklak-thekluk terserang kantuk karena nggak kebagian tempat duduk. Atau ibu-ibu cantik yang selonjoran sambil ngobrol sana-sini, ada yang kerajinan saking tiap hari ketemu mereka bikin kumpulan arisan yang dikocok tiap minggu di atas kereta.
Seingatku dari jam berangkat 6.23, 6.39, 7.00, dan 7.17 dari stasiun Bogor ke Jakarta kota, PE selalu saja penuh. Sayangnya aku nggak punya data pasti sebenarnya berapa banyak jumlah pekerja yang tiap hari komuter Bogor-Jakarta dalam rangka mencari nafkah, tapi yang jelas kuantitasnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Bogor memang tempat yang enak sebagai wilayah tempat tinggal dibanding Jakarta yang semakin sumpek.
Soal tempat duduk yang tak sebanding dengan jumlah penumpang, untung saja ada beberapa kursi khusus yang diberi label ” Prioritas untuk Penyandang Cacat, Ibu dan balita, Lansia serta Ibu hamil”. Kursi khusus itu tentu saja mampu menyelamatkanku kalau lagi tak kebagian tempat duduk. Syukurlah.
Ya, pada dasarnya ini masukan juga sih buat jawatan perkereta apian, soalnya 11 ribu itu lumayan gede lho, jika dibandingkan dengan kenyamanan yang menjadi hak konsumen pengguna PE tentu saja jauh, belum lagi soal jadwal yang kerap ngaret, kerusakan rel yang bikin penumpang terkatung-katung ke tempat tujuan, wah rugi juga para pengguna masak ke kantor baju jadi lecek dan keringetan. Jangan sampai di jam-jam sibuk, PE tak jauh beda dengan kereta ekonomi karena yang membedakan hanyalah AC-nya saja. Atau jenis orang-orangnya saja yang hampir dipastikan berHP semua dengan kelengkapan fitur radio atau MP3, tak ada orang jualan tape atau alat cukur juga bau keringat menyengat karena hampir dipastikan mereka memakai parfum kelas mahal juga tak ada omongan pasar bersliweran karena mereka tenggelam baca Kompas, Media Indonesia atau novelnya Andrea Hirata atau mungkin juga ada yang masih sempat browsing di laptop mungilnya?
Sejenak bernostalgia, dulu PE itu kereta yang ekslusif, nyaman, bersih dan kelihatan berkelasnya sebagai KRL pilihan orang-orang kantoran dibandingkan tentu saja kelas ekonomi yang lebih mirip pasar ikan saking sesaknya sampai susah nafas, gencet sana sini dan banyak terjadi gerilya ’tangan-tangan setan’ yang cari kesempatan dalam kegentingan, bak bumi dengan langit deh.
Tapi sekarang, PE di jam-jam berangkat kantor lebih mirip warung lesehan. Banyak kulihat bapak-bapak berjas atau bersafari rapi dengan tanpa sungkan menggelar koran untuk duduk lesehan sambil theklak-thekluk terserang kantuk karena nggak kebagian tempat duduk. Atau ibu-ibu cantik yang selonjoran sambil ngobrol sana-sini, ada yang kerajinan saking tiap hari ketemu mereka bikin kumpulan arisan yang dikocok tiap minggu di atas kereta.
Seingatku dari jam berangkat 6.23, 6.39, 7.00, dan 7.17 dari stasiun Bogor ke Jakarta kota, PE selalu saja penuh. Sayangnya aku nggak punya data pasti sebenarnya berapa banyak jumlah pekerja yang tiap hari komuter Bogor-Jakarta dalam rangka mencari nafkah, tapi yang jelas kuantitasnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Bogor memang tempat yang enak sebagai wilayah tempat tinggal dibanding Jakarta yang semakin sumpek.
Soal tempat duduk yang tak sebanding dengan jumlah penumpang, untung saja ada beberapa kursi khusus yang diberi label ” Prioritas untuk Penyandang Cacat, Ibu dan balita, Lansia serta Ibu hamil”. Kursi khusus itu tentu saja mampu menyelamatkanku kalau lagi tak kebagian tempat duduk. Syukurlah.
Ya, pada dasarnya ini masukan juga sih buat jawatan perkereta apian, soalnya 11 ribu itu lumayan gede lho, jika dibandingkan dengan kenyamanan yang menjadi hak konsumen pengguna PE tentu saja jauh, belum lagi soal jadwal yang kerap ngaret, kerusakan rel yang bikin penumpang terkatung-katung ke tempat tujuan, wah rugi juga para pengguna masak ke kantor baju jadi lecek dan keringetan. Jangan sampai di jam-jam sibuk, PE tak jauh beda dengan kereta ekonomi karena yang membedakan hanyalah AC-nya saja. Atau jenis orang-orangnya saja yang hampir dipastikan berHP semua dengan kelengkapan fitur radio atau MP3, tak ada orang jualan tape atau alat cukur juga bau keringat menyengat karena hampir dipastikan mereka memakai parfum kelas mahal juga tak ada omongan pasar bersliweran karena mereka tenggelam baca Kompas, Media Indonesia atau novelnya Andrea Hirata atau mungkin juga ada yang masih sempat browsing di laptop mungilnya?
Senin, 08 Desember 2008
From Six to Six
Kerja kantoran di Jakarta tak terbayangkan sebelumnya di benakku. Tapi inilah resiko alias konsekwensi. Habis gimana lagi? siapa suruh kerja di jakarta yang jaraknya 1,5 jam dari Bogor? itu juga kalau pake kereta ekspres pakuan yang ongkosnya 11 ribu sekali jalan. Karena sekarang aku lagi hamil carinya transportasi yang
bikin nyaman jiwa dan raga. Kalo saban hari naik pakuan, selain ribet ketika turun di Gambir, mau naik ojek terus bisa-bisa habis gaji sebulan, mau naik P20 ngeri ketika turunnya (sopirnya suka ugal-ugalan banget nggak mikirin kalo yang turun ibu hamil main tancap gas aja!), alhamdulillah di suatu hari ketika turun angkot di Mawar aku ketemu sama bis karyawan Deplu punya. Selain gede dan ber-AC bayarnya cuma 7000 sekali jalan kalo dihitung-hitung bisa ngirit 9000an, lumayan kan bisa buat nambah2 beli susu anakku Muthia. Memang sih jalannya kayak siput malu-malu nyampe kantor paling cepet 8.30 padahal keluar rumah dari jam 6 pagi. Tapi yah begitulah asal si bos gak komplain nggak pa palah telat-telat dikit. Yang penting nyaman buat baby di perut. Tak terasa lho aku sudah menjalani kehidupan PP saban hari from six to six (berangkat jam 6 pagi pulang jam 6 sore) selama 3cbulan lebih, wah dulu ngebayanginnya beraaaaaat banget, maklum aku sebenarnya nggak bisa jauh-jauh sama anak tempat kerjaku sebelumnya (Borcess) cuma 5 menit naik motor dari rumah. Eh sekarang...berjam-jam (apalagi kalo lagi macet atau KRLnya trouble). memang sesuatu kalau dipikirin pasti bikin berat makanya sekarang sih bismillahi tawakaltu aja, jalanin aja dengan ikhlas, lha wong sudah 'takdir'nya begitu. Mudah-mudahan pekerjaanku sekarang membawa kebaikan dan menjadikanku lebih berdayaguna, amin.
bikin nyaman jiwa dan raga. Kalo saban hari naik pakuan, selain ribet ketika turun di Gambir, mau naik ojek terus bisa-bisa habis gaji sebulan, mau naik P20 ngeri ketika turunnya (sopirnya suka ugal-ugalan banget nggak mikirin kalo yang turun ibu hamil main tancap gas aja!), alhamdulillah di suatu hari ketika turun angkot di Mawar aku ketemu sama bis karyawan Deplu punya. Selain gede dan ber-AC bayarnya cuma 7000 sekali jalan kalo dihitung-hitung bisa ngirit 9000an, lumayan kan bisa buat nambah2 beli susu anakku Muthia. Memang sih jalannya kayak siput malu-malu nyampe kantor paling cepet 8.30 padahal keluar rumah dari jam 6 pagi. Tapi yah begitulah asal si bos gak komplain nggak pa palah telat-telat dikit. Yang penting nyaman buat baby di perut. Tak terasa lho aku sudah menjalani kehidupan PP saban hari from six to six (berangkat jam 6 pagi pulang jam 6 sore) selama 3cbulan lebih, wah dulu ngebayanginnya beraaaaaat banget, maklum aku sebenarnya nggak bisa jauh-jauh sama anak tempat kerjaku sebelumnya (Borcess) cuma 5 menit naik motor dari rumah. Eh sekarang...berjam-jam (apalagi kalo lagi macet atau KRLnya trouble). memang sesuatu kalau dipikirin pasti bikin berat makanya sekarang sih bismillahi tawakaltu aja, jalanin aja dengan ikhlas, lha wong sudah 'takdir'nya begitu. Mudah-mudahan pekerjaanku sekarang membawa kebaikan dan menjadikanku lebih berdayaguna, amin.
Langganan:
Postingan (Atom)